Bulan Kemerdekaan untuk Profesi yang Belum Merdeka
Profesi yang belum mereka sadari bahwa, kelak di kemudian hari, profesi-profesi itu terlampau membumbung tinggi untuk mereka daki. Mereka juga belum sadar soal biaya yang diperlukan di tengah-tengah krisis ketahanan pangan keluarga yang mendera setiap hari.
Tapi tidak apa-apa. Kita memakluminya mereka sebagai anak kecil dengan narasi logika sederhana bahwa pekerjaan adalah mereka yang berseragam, berangkat ke kantor dengan sarapan pagi, pulang, lelah, dan gajian di akhir atau awal bulan.
Pun begitu kerap kita dengar ketika anak-anak seusia mereka ditanya, "Kalau besar nanti ingin menjadi apa?" atau "Apa cita-cita kalian jika besar nanti?"
Secara mudah kita bisa menebak jawabannya tidak akan geser dari profesi-profesi yang telah saya sebut di atas.
Nah, saya rasa di sini letak benih-benih problem yang akan dituai lima belas atau dua puluh lima tahun ke depan.
Begini, kita semua sebagai orang dewasa sadar jika profesi pilot, polisi, dokter, guru, tentara, dan profesi dinas lainnya tidak membutuhkan kuantitas dalam jumlah yang cukup besar.
Maka dari itu, sejak awal mendaftar sampai dinyatakan masuk, proses seleksi yang dilakukan terbilang cukup ketat, baik dari sisi uang yang dikeluarkan maupun kualifikasi yang harus disiapkan.
Katakanlah di masa mendatang, negeri ini hanya perlu sepuluh ribu guru dengan kualitas yang mumpuni. Sedangkan ada dua juta anak yang sejak belia sudah digiring untuk menambatkan cita-citanya menjadi guru. Dua juta anak itu belum diitung lagi dengan angkatan di bawahnya sampai terpaut lima tahun.
Sebab dalam dunia kerja, usia yang hanya selisih lima tahun bisa jadi dinilai seumuran. Bisa jadi juga tidak. Dari hitung-hitungan sederhana ini, saya rasa kita bisa membayangkan seberapa kompetitifnya akses agar bisa menyandang profesi sebagai guru.
Hal yang sama juga berlaku pada profesi-profesi yang dinilai elit itu tadi. Berapa posisi yang dibutuhkan untuk masa mendatang, dan berapa banyak yang digiring untuk masuk ke profesi tersebut.
Di sisi lain, profesi-profesi yang dinilai pinggiran tidak dikenalkan oleh sekolah sebagai profesi yang luhur. Profesi pinggiran cenderung dianggap profesi bagi orang-orang yang kalah dalam kehidupan.
Jarang kita temui saat anak-anak ditanya kelak nanti ingin menjadi apa kemudian dengan lantang menjawab, petani, nelayan, tukang becang, atau profesi lain yang serupa. Sekalipun itu anak petani, mereka hampir selalu menjawab ingin menjadi dokter atau pilot.
Ya akibat tidak langsung, petani misalnya, generasi-generasi selanjutnya menjadi tidak tahu bagaimana cara menanam padi dan membasmi hama dengan benar. Sebab dirinya didorong untuk belajar dan digiring untuk meraih profesi yang dinilai prestisius itu tadi.
Padahal jika negeri ini kekurangan sumber daya petani saja misalnya, kemungkinan besar suplai padi atau beras ke perut-perut warga juga terhambat. Ujung-ujungnya ya impor.
Teman-teman boleh menilai ini sebagai cocoklogi. Tapi yang ingin saya garisbawahi adalah di bulan kemerdekaan ini, mbok ya menghargai setiap profesi yang ada. Mulai dari pemungut sampah sampai rektor, pejabat sampai mereka yang setiap hari hanya membuat keset untuk kaki kotor, dan seabrek profesi-profesi lainnya.
Setiap profesi itu baik, yang membuatnya tidak baik bukan karena tidak berseragam dan bergaji kecil, tapi karena di dalam profesi tersebut dirinya mencuri yang bukan menjadi haknya.
Maka tahun depan, jika Bulan Agustus hendak digelar pawai kembali, profesi lainnya bisa dilibatkan dengan menjadikan satu dua bocah sebagai prototipenya.
Toh negeri ini tidak dibangun hanya dari orang-orang yang setiap hari memegang pena, berdiskusi, dan duduk di bawah ruang yang nyaman. Melainkan juga oleh mereka-mereka yang berjuang di bawah terik matahari, bercucuran keringat, bahkan sampai meregang nyawa lebih dulu sebelum menikmati perjuangannya dan dinyatakan menang.
Cerita ini diilhami dari obrolan dengan buruh gendong Pasar Beringharjo dan tukang becak yang biasa mangkal di Pasar Demangan. Salam kesetaraan profesi.
sumber : lucunyagambarnya.blogspot.com
oleh : Ahmad Sugeng Ria